Oleh : Muh. Rasda Rais
Ketahanan pangan adalah napas kehidupan bangsa. Ia bukan hanya soal sawah yang hijau atau gudang yang penuh beras, melainkan jaminan bahwa setiap anak bangsa dapat hidup dengan tenang, bekerja dengan layak, dan bermimpi dengan penuh harapan. Bangsa yang kuat dimulai dari perut rakyatnya yang kenyang, hati yang damai, dan pikiran yang jernih.
Di tengah dinamika politik yang sering bergejolak, kita tidak boleh lupa bahwa urusan pangan jauh lebih besar daripada sekedar perdebatan politik. Beras, jagung, ikan, dan daging bukanlah isu partisan; ia adalah hak dasar rakyat, titipan sejarah, dan amanah konstitusi. Karena itu, menjaga pangan sama artinya menjaga kedaulatan bangsa.Jika ketahanan pangan terabaikan, bisa mengakibatkan terganggunya pasokan pangan yang dapat memicu instabilitas ekonomi, sosial, politik, dan keamanan nasional.
Asta Cita Presiden telah menegaskan arah itu: menjadikan pangan sebagai prioritas utama pembangunan. Namun keberhasilan cita-cita ini tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah, melainkan juga oleh kebersamaan kita semua. Petani yang tekun di sawah, nelayan yang berlayar di laut, pedagang yang jujur di pasar, hingga masyarakat yang bijak dalam mengelola konsumsi semua memiliki peran dalam rantai ketahanan pangan.
Kita perlu belajar bahwa politik boleh berbeda, tetapi perut rakyat tidak boleh dikorbankan. Persaingan politik bisa terjadi, tetapi persaudaraan kebangsaan harus tetap dijaga. Di sinilah kearifan kita diuji: apakah kita mampu menempatkan pangan sebagai agenda kebangsaan yang melampaui sekat politik?
Mari kita jadikan ketahanan pangan sebagai gerakan bersama. Pemerintah dengan kebijakannya, akademisi dengan ilmunya, pengusaha dengan inovasinya, dan masyarakat dengan kesadarannya. Bila semua elemen bergerak dalam satu irama, maka badai politik, krisis global, dan perubahan iklim sekalipun tidak akan mampu meruntuhkan kekuatan bangsa.
Dalam perspektif religius, pangan adalah nikmat dan amanah dari Allah SWT. Al-Qur’an menyebutkan bahwa bumi ini telah disediakan bagi manusia untuk ditanami, diolah, dan dikelola dengan bijak. Karena itu, mengabaikan pangan sama saja dengan mengabaikan amanah Ilahi. Rasulullah SAW pun mengajarkan bahwa “orang yang menanam, lalu hasilnya dimakan oleh manusia atau hewan, maka itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, menjaga pangan adalah ibadah, sekaligus wujud syukur atas nikmat Allah.
Maka, jangan biarkan pangan dipolitisasi. Jangan biarkan isu harga beras, pupuk, atau minyak goreng menjadi bahan adu domba. Sebaliknya, mari kita jadikan pangan sebagai jembatan persatuan, sebagai energi kebersamaan untuk membangun Indonesia yang berdaulat, adil, dan sejahtera.
Bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang bebas dari perbedaan, tetapi bangsa yang mampu menjadikan perbedaan sebagai energi untuk maju. Dengan ketahanan pangan yang kokoh, kita menjaga stabilitas sosial, memperkuat kedaulatan politik, dan merawat keutuhan bangsa.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan keberkahan pada bumi Indonesia, memberi kesuburan pada tanahnya, kekayaan pada lautnya, dan keberkahan pada rakyatnya. Dan semoga kita semua diberi kemampuan untuk menjaga nikmat pangan ini sebagai jalan menuju negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur negeri yang subur, aman, dan mendapat ampunan Allah.
Penulis adalah Dosen Jurusan Bisnis Politeknik Pertanian Negeri Pangkep, Doktor dalam bidang ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.